Tetangga Meresahkan #2

bisnis

Dewii Kamaya


#part 2

Ismi sampai di Terminal Mojosari tepat jam delapan pagi, kebetulan Boby hari ini masuk malam, Boby menunggunya di depan Terminal. 
“Papa! teriak Nando, putra mereka yang berusia empat tahun.
Boby mencium kepala anaknya kemudian mereka naik ke atas jok motor Pakrio 125 milik mereka. Ismi sudah geram karena mendapat laporan dari suaminya bahwa gula, kopi dan barang-barang lainnya telah berpindah tempat. Kelakuan siapa lagi kalau bukan kelakuan tetangga baru yang super absurd itu. Masalahnya selama tiga tahun mereka bertetangga, tidak pernah ada yang secelamitan tetangga baru. 
Setelah sampai di kos, Ismi buru-buru merapikan kamar suaminya kemudian menyapu teras depan kamarnya yang nampak berpasir. 
“Istirahat dulu, Ma!” 
“Bentar, Pa! Ini jorok amat lantai sampai ngeres begini!” 
Boby hanya mengendikkan bahu. Kos ini terdiri dari enam buah kamar yang dilengkapi kamar mandi dalam, dan enam buah kamar, kamar mandi luar. Kebetulan di kamar mandi dalam sudah full enam orang berkeluarga. Enam kamar yang kamar mandi luar tersisa satu kamar dekat dapur yang sekarang diisi oleh tetangga baru. Kamar kos tersebut berjejer memanjang dilengkapi tiga kamar mandi dan dapur umum yang luas, dapur umum tersebut disediakan meja dapur panjang khusus untuk kompor, ada enam sekat agar tidak bercampur barang milik orang lain. 
Ismi bergidig melihat tumpukan piring kotor di tempat cucian piring, celana dalam anak tergeletak di depan kamar mandi dengan kondisi basah serta bak cuci yang penuh dengan air sabun. 
Tanpa banyak bicara Ismi membersihkan dapur hingga rapi seperti sedia kala, tiba-tiba Ismi mendengar suara tangisan. 
“Heh, anak siapa kamu berani-beraninya masuk ke sini!” gertak Mita. 
Ismi berlari mendengar keributan itu, “ada apa ini bentak-bentak anak saya?!” tanya Ismi. 
“Dia ngerebut permen cha-cha Nando, Ma! Nando udah bagi dikit maunya banyak!” kata Nando sambil mendekap permennya. 
Cindy menangis hingga wajahnya penuh dengan ingus, Ismi bergidig melihatnya. 
“Sudah, Nak, diam, nanti mama belikan langsung tiga!” ujar Mita sewot. 
Ismi hanya menggeleng kemudian merangkul putranya masuk ke dalam kamar. Dia mengeluarkan sabun dan alat mandinya kemudian menatanya di ember kecil dan diletakkan di atas tembok penghubung antara dapur dan kamar mandi. 
***
“Mamaa, katanya mau belikan cha-cha yang banyak?” tanya Cindy. 
“Iya, nanti, kamu tidur siang dulu aja, mama mau masak!” 
Cindy manyun, gadis kecil itu mengintip kamar Boby yang setengah pintunya terbuka dengan wajah yang masih penuh ingus. Mita berjalan pelan menuju dapur yang sudah kinclong. Dia mengambil wajan di cantolan kemudian mengambil satu butir telur dari dalam kulkas yang dia tidak tahu siapa pemiliknya, di kosan ini disediakan satu buah kulkas umum, secepat kilat dia membuat nasi goreng bumbu instan kemudian mencuci tangannya, dia melihat sesuatu yang menarik dari salah satu ember milik Ismi. Senyum cerah ceria menghiasi wajahnya, dia buru-buru masuk ke dalam kamar memberikan nasi goreng untuk Cindy kemudian menyahut handuk dari jemuran secara random dan yang terpilih adalah handuk merah milik Yuda. Dia memakai sabun cuci muka beserta sabun mandi cair serta lulur milik Ismi. 
“Huh, kalau tiap hari begini, istrinya Mas Boby pasti akan kalah kinclong denganku,” gumamnya sambil menggosok tubuhnya dengan sabun cair milik tetangganya itu. Dia juga melihat sikat gigi kecil berwarna ungu beserta pasta gigi rasa anggur kesukaan Cindy. 
“Cindy, sini, ayo mandi sama mama!” teriaknya melengking seperti tidak punya tetangga. 
“Ayo mandi!” ulangnya. 
“Enggak!” jawab Cindy sambil membawa piringnya ke depan kamar mandi. 
“Eh, ada sikat gigi warna ungu kesukaanmu!” lirih Mita.  
“Wah! Ayo!” jawab gadis kecil itu sambil meletakkan piring di atas meja. 
Mereka berlama-lama di dalam kamar mandi kemudian keluar dengan wajah segar. Mita menggaruk handuknya bingung. 
“Tadi tempatnya dimana, ya, Cin?”
“Gak tahu, taruh aja di situ!” jawab Cindy. Mita menaruh sabun dan alat mandi itu ke dalam ember lain kemudian masuk ke dalam kamar untuk makan siang. 
***
Sari turun dari bis tepat jam lima sore, dia datang dari Malang dan turun di pertigaan Japanan kemudian menunggu suaminya menjemput. Dia menggendong Aqil putranya yang berusia tiga tahun menuju Indomaret untuk membeli makanan ringan agar putranya tidak rewel. Lima menit kemudian suaminya datang. 
“Ayah!” teriak bocah itu girang dan langsung naik di depan. Sesampainya di kos, Cindy sudah berdiri di depan pagar. 
“Minggir, Nak!” kata Sari. Cindy merentangkan tangannya pertanda mereka tidak diperbolehkan masuk. 
Tiiiiin! Fahmi mengklakson bocah itu. Cindy malah duduk di tengah jalan sambil asik ngemut permen kaki. Sari yang tak sabar langsung mengangkat bocah itu minggir kemudian Fahmi memasukkan motornya ke dalam. Seperti biasa, Cindy berteriak seperti anak yang dianiaya ibu tiri. Sari melotot ke arah bocah cengeng itu, bukannya diam, bocah itu melempar permennya mengenai kepala Aqil, pertarungan tak dapat dihindarkan Aqil dan Cindy tawuran di tempat. Sari menggendong Aqil bermaksud hendak melerainya dan membawanya masuk ke dalam kamar, Cindy menarik ranselnya hingga Sari terjungkal di depan pagar. Mendengar teriakan Sari otomatis semua orang keluar dari kamar. 
“Kamu kenapa bisa jatuh, Sar?” 
“Ranselku ditarik, mana pas aku gendong Aqil, untungnya Aqil jatuh di atasku. Bener-bener ini bocah bandel bener!” 
“Enak aja ngatain anakku bandel! Situ orang dewasa ngalah, dong! Masak beraninya lawan anak bayi, kalau berani sini hadapi emaknya!” tantang Mita. 
“Heh! Ini handuk suami saya, kenapa situ yang make!” Sari menarik handuk yang dipakai di kepala Mita. 
“Eh, anu, salah ngambil handuk,” jawabnya kemudian menuntun Cindy yang belum berhenti menangis masuk ke dalam kamar. Sari yang terlanjur sebal membuang handuknya ke tong sampah. 
Setelah maghrib, dia dan Ismi membuat rapat rahasia, bagaimana cara membasmi tetangga yang tak tahu diri itu, Ismi sebal sebab aneka bahan makanan dan snack anaknya yang berada di kulkas dilahap habis oleh anak ajaib itu. Ismi bukannya pelit tapi, kalau dia rakus begitu mana kebagian anaknya padahal dia membeli snack banyak-banyak agar tidak selalu pergi ke warung. 
Aqil mengupas jeruk di depan pintu kamarnya, tiba-tiba Cindy ikut duduk di depannya. 
“Cindy mau jeruk?” tanya Sari. 
“Mau, tapi dua, ya!” jawab Cindy. 
“Adanya cuma satu, kamu mau?” 
“Tapi kan itu banyak!” Cindy menunjuk kresek putih berisi jeruk. 
“No, Aqil makan satu, Cindy juga satu, sama!” 
Cindy masuk dan mengambil sendiri jeruknya sebanyak dua biji.
“Eh, Cindy, no! Satu!”
“Buat mamaku satu!” jawabnya sambil memeluk erat dua buah jeruk. Sari menghela napas.
“Ya sudah, kamu pulang dulu sekarang, sudah malam!” 
Ismi terkikik dari depan pintunya, kebetulan Nando sudah tidur, jadi dia mengamati kelakuan tetangganya dari terasnya. 
“Malah ngakak!” kata Sari. 
“Kamu lihat, ya, Sar, itu cucian piring, gelas, sama wajan sudah di sana selama dua hari, nasi di atas meja sampe udah dilalerin juga gak dibuang, kita lihat aja besok dibersihkan apa enggak.”
“Jorok amat, masa cucian piring udah dua hari?” 
“Iya kok.” 
“Emang kebangetan, masak iya lulur mandiku yang di ember Mas Fahmi habis, padahal suamiku gak pernah luluran, lho!”
“Kalau itu pasti kelakuan Si Janda bolong itu!” 
“Heh, ngawur, bolong apanya?” tanya Sari sambil terkikik, pikirannya sudah travelling kemana-mana. 
“Otaknya yang bolong, jadinya gitu kurang seons!” 
“Kirain punggungnya yang bolong, soalnya dia suka banget pakek baju gemes,” jawab Sari terkikik. 
“Kamu lihat, ya! Besok dia pasti teriak-teriak kalau luluran!” kata Ismi. 
“Biar tahu rasa dia! Aku gak sabar nunggu dia jera!” jawab Sari.  
Yuda masuk, dia baru saja pulang kerja membawa sebungkus nasi untuk makan malamnya. Dia mengambil piring dan makan dengan pintu terbuka. Tanpa permisi Cindy masuk.
“Om, makan apa?” 
“Ini namanya nasi, kamu gak tahu nasi?” 
“Tahu, tapi aku gak pernah makan itu, pedes gak om?” tanyanya sambil melihat makanan Yuda. 
“Pedes, mau mati saking pedesnya, kamu mau?” jawab Yuda sambil pura-pura kepedesan. 
“Enggak, ah, nanti mati,” jawab Cindy sambil menyedot es teh milik Yuda. Bukan hanya disedot, esnya juga ditiup hingga mengeluarkan bunyi ‘blebeb-blebeb’ Yuda menepuk jidatnya.
“Bawa pulang, Cin, esnya, bawa!” 
Dengan riangnya gadis itu membawa es teh masuk ke dalam kamarnya. Ismi dan Sari semakin terkikik kemudian membubarkan diri saat jam sembilan malam. Mereka Kos di Kota Mojokerto, maka dari itu mereka lebih sering membuka pintu kamarnya karena hawanya sangat panas, ditambah kos yang mereka tempati beratap asbes gelombang. 
***
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Ternyata Kaya 7 Turunan #3

Next Post

Tetangga Meresahkan #3

Related Posts