Sikap Istriku Berubah Drastis Setelah Aku Menikah Lagi #1

bisnis

Sikap Istriku Berubah Drastis Setelah Aku Menikah Lagi

#BAB 1

*

“AkuNggak mandul, Mas. Kenapa kamu bersikeras menikah lagi?” tanyanya seminggu yang lalu saat aku diizinkan untuk menikah dengan Lala.
Aku memang sengaja memintanya untuk menghindari segala resiko yang akan terjadi di kemudian hari. Padahal jika aku mau, tak ada kewajiban seorang suami untuk izin pada istri pertamanya jika ingin menikah lagi bukan? Yang penting siap berlaku adil soal waktu dan materi, tak terkecuali cinta.
Namun, aku memilih mengambil resiko terkecil dengan meminta izin Zilva, istri pertamaku. Aku tahu dia akan menuruti keinginanku untuk menikah lagi, karena cintanya membuatku terlampau besar. Apalagi saat ini dia tak punya siapa-siapa selain aku dan keluargaku tentunya. Ibunya belum setahun yang lalu, menyusul bapak yang dipanggil Allah lebih dulu. Sementara sanak saudara dia tak punya.
“Aku tahu, Sayang. Kamu memang tak mandul. Kita sama-sama subur, tapi–
“Tapi apa, Mas?” tanyanya lagi dengan ekspresi begitu cemas. Telapak tangan sangat dingin dan getaran sedikit getaran menahan isak yang sebentar lagi pasti terdengar.
“Tapi mama memintaku untuk menikah dengan perempuan itu. Lala, dia adalah anak dari sahabat mama yang memang sejak dulu dijodohkan denganku. Kamu tahu itu kan?” ucapku terbata. Zilva mendongak dengan mata berkaca. Seperti dugaanku, bola bening mulai menetes dari sudut matanya.
“Aku tahu. Dia yang dulu sempat patah hati lalu pergi dari kota ini karena kamu justru memilihku sebagai istri,” balasnya. Ternyata ingatan Zilva masih setajam itu.
Zilva benar. Dua tahun lalu aku memang menolak perjodohanku dengan Lala sebab aku sudah tertarik pada Zilva sejak pandangan pertama di kampus. Zilva adalah adik kelasku saat kuliah dulu.
Wajahnya yang cantik, sorot matanya yang teduh, senyum manisnya, kelembutan dan kelembutannya membuat banyak lelaki jatuh cinta, termasuk aku. Ditambah dia termasuk mahasiswi berprestasi. Rasanya Zilva adalah calon istri idaman setiap lelaki.
Saat itu aku merasa paling beruntung karena bisa meluluhkan hatinya. Tak butuh waktu lama aku pun melamarnya dengan pernikahan yang sederhana karena aku memang baru saja diwisuda dan belum memiliki penghasilan tetap.
Rasa syukurku semakin dalam saat dia sah menjadi istriku. Dia teramat penurut, lembut dan setia. Mau hidup sederhana denganku padahal saat itu bisa saja dia menolak lamaranku dan memilih laki-laki lain yang jauh lebih mapan dibandingkan aku.
“Gimana, Sayang? Apa yang kamu izinkan?” tanyaku ulang sambil menyeka bulir bening di kedua pipinya. Zilva mendongak, berusaha tetap tersenyum meski kutahu rasa sakit di hatinya teramat dalam.
“Apa jawabanku ini penting bagimu, Mas? Bukan jawaban iya ataupun tidak, kamu akan tetap menikah dengan perempuan itu demi mama dan mungkin demimu juga,” balasnya berbisik, mencoba tetap tegar meski kutahu hatinya jelas terasa perih.
Aku tak menyalahkan ucapan Zilva. Memang benar jika jawabannya tak berarti perlindungan. Bagaimanapun aku akan tetap menikah dengan Lala demi mendapatkan keturunan. Tak hanya mama yang menginginkannya, tapi aku juga.
Hanya saja saya tidak tega terang-terangan mengatakan demikian di depannya. Jelas kutahu, ada atau tidaknya keturunan sudah ada yang mengatur. Sebagai hamba kita tidak berhak memaksa.
“Kenapa? Ucapanku benar kan, Mas? Kamu akan tetap menikah dengannya sekalipun aku melarang. Keputusanmu sudah bulat sejak undangan itu disebarkan,” balasnya lagi dengan teriakan yang tertahan.
Aku berusaha memeluknya, tapi dia memelukku pelan. Sungguh, rasanya aku ikut sakit melihatnya seperti ini. Terlalu perih hatinya hingga sekedar menenangkan kegundahannya di dadaku saja dia tak mau.
Padahal biasanya dia selalu bilang, masalah apapun akan merasa tenang jika ada dalam dekapanku. Dekapan yang perlahan ditepis karena sakit yang terlampau dalam.
“Silakan saja kamu menikah dengan dia, Mas. Namun, ada satu hal yang harus kuingat. Aku ingin kamu memenuhi kewajibanmu padaku. Kamu harus bisa adil antara aku dengan dia,” ucapnya dengan nada gemetar.
“Iya, Sayang. InsyaAllah aku akan berlaku adil pada kalian berdua. Meski aku akan menikah lagi, percayalah, Zilva, cintaku dan tak pernah berubah, tapi justru semakin bertambah. Kamu benar-benar istri idaman setiap lelaki dan aku sangat bersyukur pernah kamu pilih sebagai suami,” sambungku cepat.
“Sayangnya, aku merasa kamu bukan laki-laki terbaik untukku, Mas. Aku benar-benar tak menyangka jika akan kamu duakan seperti ini. Tapi tak apa. Aku akan membuat surat perjanjian sebagai tanda persetujuanku atas pernikahan keduamu itu, tapi ada syaratnya. Apa kamu akan memenuhi semua syarat yang kuajukan, Mas?” tanyanya lagi setelah menghela napas panjang.
“Syarat?” Dia mengangguk pelan.
“Jika aku mengiyakan syarat itu, apa kamu akan mengizinkanku menikah dengan Lala? Kamu rela dimadu dengannya?” tanyaku untuk memperjelas maksud surat perjanjian dan syarat yang dia berikan.
“Aku akan izinkan jika kamu mau memenuhi syarat yang kuberikan,” balasnya lagi sembari menganggukkan kepala.
Zilva adalah istri yang penurut dan tak pernah neko-neko selama dua tahun bersamaku, pastilah syarat yang diajukannya pun tak akan sulit. Tak ingin membuang waktu, aku pun mengangguk yakin bisa memenuhi syarat yang dia berikan.
“Baiklah, Mas. Nanti akan aku buatkan surat perjanjiannya. Sekarang, pergilah. Bukankah di rumah mama diadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk menyambut perempuan itu dan keluarganya?” Zilva kembali mencoba tersenyum, tapi entah mengapa senyumnya kali ini terasa sangat berbeda. Mendadak kekhawatiranku muncul tiba-tiba. Apa yang sedang direncanakannya setelah mendengar permintaanku untuk menikah kedua kalinya?

BERSAMBUNG . . .

Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Tips Memulai Bisnis kue kering | Temukan bahan untuk bisnis yang sukses

Next Post

Sikap Istriku Berubah Drastis Setelah Aku Menikah Lagi #2

Related Posts