Dermaga Terakhir #3

bisnis
 

dwiindra0330

 #BAB 3

Suara Mencurigakan

Sedang asyik menikmati sarapannya yang dibuatkan oleh Nara, perhatian Affan teralihkan saat tiba-tiba kursi makan di sebelahnya ditarik mundur oleh seseorang.
Nila duduk, menatap suaminya dengan tatapan janggal.
“Saking enaknya ya, makan sampe nggak sadar istrinya datang. Atau, kamu lagi sibuk ngeliatin Nara, Mas?” ujar Nila dengan nada menyindir.
“Bicara apa, kamu?” Wajah Affan berkerut menatap sang istri. Tapi Nila terlihat santai sambil mengulum senyum. Perempuan itu cuek saja sambil menyendok nasi ke mulutnya.
“Biasa aja, sih Mas. Aku juga nggak serius, kok. Malah kalau kamu sewot gitu aku jadi curiga, loh …,” seloroh Nila tanpa beban.
“Jangan bicara macam-macam. Aku sih sudah terbiasa sama mulut kamu yang jahat, tapi jaga perasaan Nara. Dia adik kamu,” ujar Affan pelan, takut terdengar oleh Nara yang masih tampak sibuk menggoreng sesuatu di dapur.
Tak lama, gadis itu datang menghampiri kakak dan abang iparnya dengan beberapa potong sosis di atas piring.
“Thank’s, Ra,” ujar Nila. Tangannya kemudian bergerak menusuk sebatang sosis, lalu dipindahkannya ke piringnya.
“Sama-sama, Mbak.” Nara menjawab. Ketiga orang tersebut kemudian melanjutkan makan tanpa ada yang berbicara.
“Aku mandi dulu. Tolong beresin ya, Ra,” ujar Nila setelah selesai makan. Perempuan berkulit putih dengan rambut ikal panjang yang diwarnai itu berdiri dari kursi, dan langsung melenggang menuju kamar.
“Lagi Mas, kopinya?” tawar Nara pada Affan yang sejak tadi hanya tampak membisu. Pria itu tersenyum, lalu menggeleng pelan.
Nara berdiri, tangan berkulit langsat milik gadis itu mulai bergerak mengumpulkan piring-piring kotor bekas yang mereka pakai makan, dan membawanya ke wastafel untuk dicuci.
“Biarkan saja di situ, Nara. Kamu nggak siap – siap kuliah? Nanti terlambat, loh,” seru Affan dari tempatnya duduk.
“Belum mulai kuliahnya, Mas. Hari ini masih proses daftar ulang. Nanti jam sepuluh Nara berangkat ke sana,” jelas Nara diakhiri senyum.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Mas siap-siap ke kantor dulu, ya.” Affan berdiri dari kursi yang ia duduki, lalu berjalan ke kamar untuk mengambil tas kerjanya.
“Katanya mau mandi, kok malah main hape?” tegur Affan saat mendapati Nila masih duduk santai di depan meja rias sambil memegang ponselnya.
“Bentar lagi, masih tanggung,” jawab Nila tanpa menatap suaminya. 
Affan menghela napas pelan, kemudian menuju meja kecil di dekat Nila dan meraih tas kerjanya.
“Mas berangkat dulu, Nila.” Affan berpamitan, menyodorkan tangan seperti biasa untuk dicium istrinya. 
Tapi sepertinya Nila terlalu asyik dengan gadget canggihnya tersebut sehingga tak mempedulikan sang suami yang sedang menunggu.
“Nila,” panggil Affan untuk menyadarkan istrinya. Nila mendongak, menatap jengkel pada Affan dan langsung berdiri. 
Perempuan itu kemudian meloyor begitu saja, berjalan ke luar melewati pintu. Tak dipedulikannya Affan berikut uluran tangannya. 
Affan akhirnya memilih diam meskipun tak ridho pada kelakuan istrinya yang tidak menghormatinya sama sekali. Lelaki itu pun kemudian berangkat menuju kantor, memacu kendaraan roda dua kesayangannya.
***
“Mbak kok gitu sih, sama Mas Affan. Aku sampe nggak enak loh gara-gara kejadian semalam.” Nara berkata ketika di rumah sudah tinggai ia berua kakaknya saja.
Nila meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap adiknya sambil tersenyum geli.
“Kamu anak kecil nggak tahu apa-apa, Ra. Atau, kamu jangan-jangan suka sama Mas Affan diam-diam?”
“Astaghfirullah, Mbak. Jangan sembarangan bicara!” Nara tampak tersinggung, sedangkan Nila makin tertawa geli.
“Ya sudah, lupain. Becanda aja, kok. Jam berapa kamu mau ke kampus buat daftar ulang?” tanya Nila akhirnya mengalihkan pembicaraan.
“Jam sepuluh nanti, Mbak,” jawab Nara pelan. Hatinya masih tak nyaman sebab ucapan kakaknya tadi. Menurut Nara, hal tersebut tak pantas Nila gunakan sebagai bahan bercanda.
Tujuannya ke kota adalah untuk kuliah. Menuntut ilmu sampai mendapatkan gelar sarjana, lalu mencari pekerjaan agar bisa membahagiakan orangtua.
Sesederhana itu cita-citanya. Jauh dari urusan lawan jenis, apalagi sampai memiliki perasaan khusus kepada abang ipar sendiri.
“Nih, duit buat ongkos. Sekalian kunci rumah. Mbak habis ini mau keluar bentar, takutnya pas kamu pulang, Mbak lagi nggak di rumah.” Nila berkata seraya meletakkan dua lembar uang seratus ribuan serta kunci rumah cadangan.
“Mbak mau ke mana, memang?” tanya Nara penasaran. Sebab sejak ia berada di rumah ini, kakak perempuannya itu selalu pergi ke luar rumah entah ke mana.
“Apa itu jadi urusan kamu sekarang, Ra?” tukas Nila sambil menatap tajam adiknya.
“Maaf, Mbak,” lirih Nara. 
Nila segera meninggalkan dapur menuju kamarnya. Selang lima belas menit kemudian perempuan itu keluar kamar dengan penampilan cetar. 
Pakaian Nila terlihat seksi dengan blouse sabrina berwarna putih yang menampakkan kedua pundak mulusnya, dipadu dengan celana pendek longgar se-paha berwarna senada.
Tiin …  tiiin!
Terdengar suara klakson mobil berbunyi dari luar rumah, dan Nila pun bergegas ke depan dan membuka pintu rumah. 
Nara hanya bisa memperhatikan, ketika kakaknya itu akhirnya menghilang ke dalam mobil sedan berwarna hitam mengkilat yang berlalu perlahan dari depan rumah.
***
Langit Jakarta siang ini begitu terik. Tanpa awan yang biasanya menghias langit biru yang membentang, matahari pun dengan bebas memancarkan sinarnya ke bumi.
Di bawah lindungan pohon rindang, gadis itu berdiri menunggu ojek online yang tadi dipesannya melalui aplikasi berlogo hijau. Setelah menyelesaikan segala keperluan administrasi di kampus, Nara berniat untuk langsung pulang ke rumah.
Pun ia tak punya tujuan hendak ke mana sebab belum memiliki teman di ibukota ini. 
Ojek online yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Gegas Nara naik dan duduk di boncengan belakang.
Saat tiba di rumah kakaknya, Nara tertegun sejenak kala melihat mobil hitam yang tadi pagi dilihatnya menjemput sang kakak kini telah terparkir di depan pagar rumah.
‘Mungkin Mbak Nila sudah pulang, dan temannya mampir ke dalam,’ gumam Nila dalam hati.
Setelah membayar ongkos ojek, gadis itu pun masuk ke halaman setelah membuka pagar setinggi pinggang yang mengelilingi rumah abang ipar dan kakaknya.
Nara menekan handel pintu yang langsung terbuka dengan mudah. Kosong. Sekeliling ruangan tampak sepi dan tak ada siapa-siapa seperti dugaan Nara sebelumnya.
Meski heran, tapi Nara yakin bahwa kakaknya benar ada di rumah. Sebab Nara melihat tas milik Nila tampak tergeletak di atas sofa.
Nara hendak menuju kamar, ketika samar telinganya mendengar suara aneh dari kamar kakaknya yang pintunya tertutup. Meski masih belia, bukan berarti Nara tak paham suara macam apa yang didengarnya.
Suara dua orang dewasa yang saling memburu, ditingkahi suara manja seorang wanita yang amat dikenalnya. Suara Nila, kakaknya.
BERSAMBUNG . . .
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Ide Bisnis Membuka Usaha Katering Dari Rumah Hingga Sukses

Next Post

Sandal Jepit Cinderella #1

Related Posts