Sandal Jepit Cinderella #1

bisnis
  

Puspa Markhip

#BAB 1
 Queen memasang masker wajah sebelum keluar dari gedung F Fakultas Tarbiyah dan berjalan dengan cepat, mengabaikan teriakan Inne yang berlari-lari menyusulnya. Gadis itu menuruni undakan anak tangga hingga membawanya ke lantai satu dan langsung berlari menuju parkiran khusus mahasiswa.
“Win, buru-buru amat sih!” teriak Inne dengan napas tersengal.
“Ada acara keluarga, Ne. Aku duluan, ya.” Queen menoleh sekilas pada sahabatnya, kemudian melanjutkan langkahnya.
Itu hanya akal-akalannya saja untuk menghindar ajakan nongkrong Inne seperti biasa. Sejak Fahmi menyatakan cinta padanya, Queen tak lagi bisa berlama-lama di kampus meski sekedar nongkrong di kantin bareng Inne, hal yang sebelumnya menjadi kebiasaan yang menyenangkan.
Gadis itu juga buru-buru meninggalkan gedung Fakultas Tarbiyah hanya karena tak ingin secara tidak sengaja bertemu dengan kakak seniornya tersebut. Meski mereka tidak dalam satu gedung yang sama, tetapi tidak menutup kemungkinan akan bertemu. Queen belum siap memberikan jawaban apa-apa untuknya.
“Alasan basi! Kamu mana pernah sih mau ikutan acara keluarga. Bukannya Mama kamu aja sampai ngeluh, kamu selalu nolak tiap diajak acara keluarga?” 
Queen memutar bola mata jengah. Begitulah kalau punya sahabat yang terlalu mengenalmu bahkan mengenal keluargamu. Dia bakal tahu semua hal tentangmu hingga membuatmu tak bisa untuk membohonginya.
“Ish, tanya Mama deh sana!” jawabnya hanya sekedar untuk meyakinkan Inne. “Kamu gak percayaan amat.”
Inne mendengus, “Habis kamu aneh sih. Kemarin bolos, padahal bilang udah balik ke Jogja, sekarang malah bikin alasan acara keluarga. Acara keluarga apaan, coba?”
“Nanti sore bakal digelar tasyakuran aqiqah anaknya Mbak Rahma. “
Inne memang akhirnya percaya dan mau melepaskannya, tetapi Queen langsung menyesal mengatakan hal tersebut begitu ia tiba di apartemennya mendapati Mama dan Papa duduk manis di ruang tengah menanti kedatangannya.
“Mama sama Papa datang, kok gak bilang dulu?”
Mama beranjak mengambil sekotak besar jus jambu dari dalam kulkas, tak lama kemudian kembali dengan beberapa gelas. “Dadakan, kebetulan kedua kakakmu di rumah. Jadi, Mama sekalian ajak ke sini.”
“Terus mana mereka?”
“Tuh.” Mama menunjuk ke arah kolam renang diikuti mata Queen. Di sana dua kakaknya sedang asyik bermain air. “Ayo, anak-anak. Lekas mandi, Win udah pulang nih!” lanjut Mama berteriak pada kedua putranya.
“Kamu segera mandi, Win. Mama minta jalan-jalan.”
“Mau jalan ke mana, Pa?” Queen duduk di sisi Papa dan mulai melepas sepatu serta kaos kakinya.
“Muter-muter aja, yang penting mamamu senang. Mumpung kedua kakakmu pulang.”
Queen bangkit dan menghampiri salah satu kakaknya yang baru saja muncul dari permukaan air. Tanpa di duga, Fatih yang entah sejak kapan berada di belakangnya, datang-datang menyergap Queen dan mengangkat tubuh adikya hingga gadis itu terpekik kaget.
“Lemar sini, Mas!” pinta Fadli dari dalam kolam.
“Mas, lepasin Queen. Kita bukan mahram!” Queen menjerit berusaha melepaskan diri.  “Awas saja kalau berani lempar, Queen doain Mas Fatih jadi jomblo seumur hidup!”
Fatih terkekeh senang. Ia menyeret tubuh Queen semakin mendekati kolam. Di bawahnya, Fadli bersorak memberinya semangat agar Fatih menceburkan adiknya ke kolam. Queen menjerit-jerit panik.
“Katanya mau mandi—“ Fatih tertawa sambil mendorong tubuh Queen. “Sekarang saatnya mandi.” Bersamaan itu Queen merasa tubuhnya melayang dan jatuh di dalam air. Hanya saja ia tidak jatuh sendirian, karena Queen juga ikut menyeret Fatih bersamanya.
Kepala Queen muncul di atas permukaan air dengan napas megap-megap, diikut Fatih. Sementara di tempatnya, Fadli tertawa ngakak.
“Fatih, berani-beraninya kamu menyentuh ratu kecil Mama!” teriak Mama sambil berkacak pinggang di pinggiran kolam. Mata birunya melotot galak ke arah putra sulungnya.
Queen mengusap air di wajahnya, ia berenang ke tepi kolam. Mama memang menjaganya dengan sangat baik, tidak ada laki-laki yang boleh menyentuh putri kecilnya selain mahramnya, termasuk putra sulungnya. 
Meski status mereka adalah kakak beradik, tetapi secara hukum agama mereka bukan mahram. Queen tahu itu. Ia hanyalah anak angkat Mama dan Papa.
Hanya ada dua  laki-laki yang mahram dengannya, yaitu Paman Fikri dan Fadli. Queen dan Mas Fadli merupakan saudara kandung yang diangkat menjadi anak mereka usai ditinggal kedua orang tua mereka dalam kecelakaan maut.
Hanya dengan Paman Fikri dan  Fadli, Queen boleh saling bersentuhan. Ratu tidak boleh sembarangan disentuh seorang laki-laki. Begitu nasehat Mama yang tak pernah bosan diulang-ulangnya. 
Andai saja Mama tahu, ratu kecilnya telah kehilangan mahkota. Mungkin Mama akan sangat terpukul. Queen merasa matanya memanas mengingat kejadian yang sangat membekas di masa lalu. Air mata sudah berkumpul di pelupuk mata. Hanya butuh beberapa detik saja sebelum kemudian luruh menuruni kedua pipinya.
Beruntung, air kolam yang membasahinya mampu menyembunyikan linangan air matanya.
Queen mengurungkan niat untuk naik. Ia menenggelamkan diri dan berenang untuk menyembunyikan luka yang kembali ternganga.
Empat tahun tidaklah cukup untuk menyembuhkan luka batinnya. Hatinya kembali berdarah. Queen menyembunyikan tangisnya di bawah permukaan air kolam. Ia sengaja berlama-lama di bawah sana, berenang hingga kelelahan.
Ialah Shaqueena Humaira, sang ratu tanpa mahkota.
***
Satu jam kemudian, baik Queen maupun kedua kakaknya sudah mandi dan rapi. Mereka siap berangkat dalam satu mobil dengan Fatih sebagai sopir. Papa duduk di jok penumpang di sampingnya. Sementara di bagian belakang diisi Mama, Fadli, dan Queen di tengah-tengah diapit keduanya.
Sepanjang perjalanan gadis itu tidak berhenti mengeluh oleh tingkah Fadli yang sepertinya sengaja membuat adiknya terhimpit antara tubuhnya dan sang Mama.
“Mas Fadli sengaja, ya!” Queen mendelik galak saat merasa tempat duduknya didominasi oleh kakaknya hingga ia merasa sesak. Gadis itu terus mengomel, sementara Fadli hanya menjulurkan lidahnya sengaja membuat adiknya kesal.
Tak lama kemudian omelan Queen berhenti ketika melihat mobil berjalan memasuki gerbang pesantren Miftahul Ulum. Queen langsung panik.
“Ma, katanya kita jalan-jalan. Kenapa malah ke sini?”
“Ikut acara aqiqah anaknya Mbak Rahma dulu, habis itu baru jalan-jalan,” jawab Mama kalem.
“Memangnya acaranya hari ini?”
“Ya, iyalah. Kamu sih tidak pernah mau datang ke sini, jadinya tidak tahu saudaranya menggelar acara.”
Queen menggeleng panik. Waktu ia mengatakan pada Inne ada acara aqiqah anaknya Mbak Rahma, sebenarnya hanya akal-akalannya saja. Queen sama sekali tidak menyangka jika ucapannya tersebut benar-benar terkabul. Tahu begini lebih baik ia kabur saja bersama Inne. Queen bergerak semakin gelisah.
“Mas, Mas, berhenti deh! Queen mau turun, tiba-tiba ingat ada janji sama Inne.” Gadis itu merasa tangannya dingin. Usahanya menghindari pria itu akan sia-sia kalau sampai ia menginjakkan kaki di pesantren Miftahul Ulum.
“Jangan macem-macem, deh. Kamu ketemu Inne kan tiap hari, ini acara keluargamu sendiri masak tidak mau datang.”
“Tapi ini penting banget, Ma. Demi kelangsungan hidup Queen. Please, Ma,” pintanya memelas.
Mama menggeleng tidak mau tahu. Sudah susah-susah mengelabui anak gadisnya itu agar bisa dibawa ke pesantren Miftahul Ulum, mana mungkin Mama mau melepasnya begitu saja.
Semua ini memang sudah direncanakannya bersama suami dan kedua putranya. Mama ingin Queen menyambangi keluarganya di sini, setelah empat tahun tidak pernah mau sekalipun menginjakkan kaki di pesantren Miftahul Ulum.
Papa setuju dengan rencana istrinya, hingga meminta Fatih yang masih di Semarang agar segera pulang untuk meyakinkan rencana mereka. Tentu saja karena Mama dan Papa sangat hafal sifat keras kepala putrinya.
Queen kukuh jika sudah menolak, gadis itu tidak bisa dibujuk sehingga jalan terakhir adalah dengan mengelabuinya.
“Telepon Inne, bilang kalau kamu lagi ada acara keluarga. Dia pasti akan mengerti,” usul Papa. 
Queen menggeleng muram. Dari sikapnya sudah menunjukkan jelas jika ia memang memiliki masalah dengan keluarga di pesantren MIftahul Ulum, karena itu Mama bersikeras untuk tidak mengalah padanya kali ini. Dengan membawa putrinya ke sini , beliau berharap dapat menemukan inti permasalahannya dan bisa menyelesaikannya.
“Sudah sampai, ayo turun!” 
Queen tertunduk lemas saat mobil berhenti tepat di depan kediaman Paman Fikri. Fatih adalah orang pertama yang turun dari mobil setelah melepas sabuk pengaman, diikuti Mama.
Fadli menepuk bahu adiknya lembut, dan memintanya ikut turun, “Ayo!” 
Queen tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Langkahnya tampak begitu lesu. Di depannya, Mama menanti dengan tidak sabar, sementara Fadli membuntuti dari belakang, memastikan Queen tidak kabur.
Otak Queen memikirkan berbagai kemungkinan buruk jika bertemu dengannya. Queen pasrah, dalam hati berdoa semoga pria itu sedang tidak di rumah, atau mungkin mencret dan harus berlama-lama di dalam toilet sampai acara selesai sehingga mereka tidak perlu bertemu. Apa pun itu, Queen belum sanggup bertemu kembali setelah empat tahun peristiwa itu mengguncangnya.
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Dermaga Terakhir #3

Next Post

5 Cara meningkatkan penjualan Agar Cepat Sukses, Bisa Dicoba Guys! – Bisnis.cam

Related Posts