Suamiku Hanya Mencintaiku Tidak Dengan Keluargaku #1

bisnis

Suamiku Hanya Mencintaiku Tidak Dengan Keluargaku

#BAB 1

“Mas, tadi pagi ibu telepon. Katanya Bapak masuk rumah sakit, boleh nggak ya kalau aku jenguk beliau? Lagipula sudah sejak kita menikah aku belum pernah bertemu dengan keluargaku,” pamitku pada Mas Haris malam itu.

Aku sengaja menunggu suamiku beristirahat setelah pergi bekerja seharian. Aku yakin, ia pasti akan mengizinkan aku pergi menemui kedua orangtuaku.

“Nggak usah lah Dek, besok Mas kan harus kerja,” jawab suamiku.

Deg! Tiba-tiba hatiku terasa nyeri mendengar jawaban dari pria yang baru menikahi aku dua bulan lalu. Rasanya aku benar-benar tak percaya jika Mas Haris mengabaikan orangtuaku yang tengah mengalami musibah.

“Tapi Mas ….” 

“Sudah ya, kalau Mas bilang engga yasudah jangan bantah. Mas capek, mau tidur dulu,” ucapnya seraya membelakangi aku.

Aku menahan sesak di dalam dada, bagaimana mungkin pria yang terlihat begitu penyayang bisa mengabaikan keluargaku seperti ini?

Aku tarik selimut, kemudian menatap langit-langit kamar ini. Tanpa terasa, air mata mengalir melalui ujung mataku. Ada sesak dalam dada yang tak bisa aku jelaskan.

Aku memang telah menikah dengan Mas Haris, apapun perintahnya jelas aku harus mematuhinya. Namun, apakah aku salah jika ada perasaan kecewa di dalam hati karena aku sangat ingin bertemu dengan orangtuaku?

Aku usap air mata yang semakin deras mengalir, segera aku menutupi wajahku dengan selimut agar Mas Haris tidak mendengar suara tangis ku.

…..

“Sayang, bangun sudah subuh.”

Seperti biasa, Mas Harus membangunkan aku dengan sebuah kecupan lembut di keningku. Aku buka perlahan mata ini, rasanya masih tersisa sesak di dalam dada yang semalam aku tahan hingga aku ketiduran.

Aku bangkit, kemudian mengambil air wudhu. Setelah salat subuh, aku berusaha kembali membicarakan tentang keinginanku bertemu Bapak dan juga Ibu.

Mungkin saja, Mas Haris memang banyak masalah di kantor sehingga semalam bersikap seperti itu padaku. Aku harap kali ini ia akan mengizinkan aku pergi.

“Mas, aku bisa naik taksi online ke rumah sakit. Siapa tahu Bapak butuh aku Mas,” rayuku lagi.

Mas Harus melepas peci yang ia kenakan. Kemudian bangkit dari posisi duduknya tadi, ia diam tanpa menjawab pertanyaan ku.

Aku segera melepas mukena yang masih membungkus tubuhku, kemudian mengikuti Mas Haris keluar kamar.

“Mas.”

“Udahlah! Kalau Mas bilang nggak usah ya nggak usah! Lagian kan ada ibu, ada adek kamu juga kan? Nggak usah ribut masalah kecil begini,” bentak Mas Haris.

Aku tersentak mendengar nada bicaranya yang meninggi, selama ini ia tak pernah seperti ini. Apakah menurut dia aku salah jika ingin mengunjungi kedua orangtuaku.

Terlebih mereka tengah di timpa musibah, egois kah aku jika memaksakan kehendak untuk pergi menemui mereka?

“Gini lho Dek, Mas ini kan kerja nggak bisa nemenin kamu. Gimana kata mereka kalau kamu datang sendiri?” ucap Mas Haris lagi.

“Mereka nggak akan ngomong apa-apa Mas, karena mungkin saja mereka butuh aku. Aku ini anak pertama Mas, aku yang biasa menjadi penenang di saat keadaan seperti ini, aku tahu ibu pasti panik dengan keadaan ini. Tolong lah Mas, ngertiin aku dikit aja,” jawabku.

Mas Haris nampak semakin kesal, matanya menatapku dengan penuh emosi.

“Pokoknya Mas bilang enggak ya enggak, titik!”

Mas Haris masuk lagi ke kamar, ia bahkan membanting pintu hingga menimbulkan suara yang begitu keras. Ya Allah, egois sekali suamiku.

Aku tahan air mata yang telah menggenang di kelopak mataku. Dalam hati berdoa supaya ibu bisa mengerti keadaanku saat ini.

Aku berjalan ke dapur, melakukan tugasku sebagai seorang istri. Aku siapkan kopi dan sarapan untuk Mas Haris seperti biasanya.

Beberapa saat kemudian Mas Haris keluar dari kamar, wajahnya telah kembali teduh seperti tak terjadi apa-apa.

Ia berjalan ke meja makan dan menyantap sarapan yang sudah aku sediakan. Di tengah-tengah sarapan, ponselnya berdering.

Ia menghentikan aktivitasnya dan menyambungkan panggilan yang masuk ke dalam ponsel miliknya.

“Halo Ma, oh iya bisa kok. Yaudah, nanti biar Haris bilang sama Shela dulu ya, dia pasti mau kok,” ucap Mas Haris dengan seseorang di ujung panggilan.

Setelah itu ia menutup sambungan telepon dan langsung menatapku.

“Mama minta di temenin belanja, kamu nanti naik taksi online aja ya. Aku ada meeting pagi soalnya,” ucap Mas Haris.

Ingin rasanya marah dan meluapkan segala emosi yang ada di dalam hati ini. Mengapa ia memperbolehkan aku menemani ibunya belanja, sementara aku tak boleh pergi melihat keadaan ayahku yang sangat membutuhkan aku.

Aku tidak ingin lagi membantah permintaan Mas Haris, biarlah. Untuk kali ini ia memang, tapi mungkin besok aku tidak akan pernah membiarkan semua ini terjadi.

Aku pergi ke salah satu Mall terbesar di kota Jakarta. Sengaja memang aku langsung janjian dengan ibu mertuaku di mall karena tak ingin menghabiskan banyak waktu di jalan.

Beberapa toko barang mewah di datangi oleh ibu mertuaku, beliau membeli beberapa tas dan pakaian yang sesungguhnya tidak terlalu penting.

Beliau mengajakku berfoto dan mengunggahnya ke story’ WhatsApp. Aku tak ambil pusing, apalagi beliau menambahkan caption menantu kesayangan di postingan tersebut.

Namun, beberapa saat setelah beliau mengunggah story’ tersebut tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor ibuku.

[Ibu hanya minta kamu datang, karena keadaan ayah kamu semakin memburuk. Namun, kamu lebih memilih pergi dengan ibu mertua kamu.]

Deg! Hatiku tersayat membaca pesan itu, ya Allah sepertinya ibu salah paham dengan apa yang terjadi. Bagaimana cara aku menjelaskan semua ini? 

BERSAMBUNG . . .

Klik Link ini untuk Lanjut ke bab berikutnya 

Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

6 Rahasia Menumbuhkan Bisnis Berbasis Rumahan

Next Post

6 Ide Bisnis Peluang Usaha yang Menarik di Tahun 2023

Related Posts