Dermaga Terakhir #2

bisnis
  

dwiindra0330


#BAB 2

Tanda Merah di Leher Nila

Aku seolah kehilangan muka di depan Nara, adik iparku sendiri akibat perlakuan Nila padaku barusan. Sungguh, aku merasa sangat tak dihargai sebagai seorang suami.
Berjalan ke kamar, aku hendak menemui dan berbicara dengan istriku. Nila tak bisa terus dibiarkan seperti ini. Bukannya aku gila hormat, tapi sudah menjadi kewajibanku untuk mendidik dan mengarahkan istriku ke jalan yang benar. Sikap Nila selama ini jelas salah.
“Nila,” panggilku setelah menutup pintu kamar. Tampak Nila kini hanya mengenakan sehelai handuk yang melilit tubuh dari batas leher hingga lutut. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai.
“Apalagi, sih Mas? Aku capek,” ujarnya belum apa-apa. 
“Mas mau bicara soal kelakuan kamu, Nila. Jujur, Mas merasa nggak kamu hargai selama ini sebagai suami. Dan jawaban kamu tadi__apakah kamu nggak pernah berpikir apa pendapat Nara tentang kita?” ujarku sambil mendekatinya.
“Nara cuma anak kecil. Mas jangan lebay, deh!” tukas Nila.
“Terlepas dari dia anak kecil atau bukan, Mas ingin kamu merubah tabiat kamu, Nila. Jaga martabat Mas sebagai seorang suami. Di sini Mas adalah pemimpin,” ucapku tegas.
Nila tiba-tiba tertawa. Seakan mengejek apa yang kukatakan padanya barusan.
“Oh … jadi Mas maunya disanjung, dipuja-puja. Gitu, Mas? Boleh saja, asalkan Mas bisa memenuhi semua keinginanku. Aku nggak cukup dinafkahi hanya dengan uang enam juta lima ratus ribu sebulan!” 
Nila hendak berlalu, tapi langsung kucekal tangannya. Saat itulah, rambut panjangnya tersibak ke belakang. Menampilkan sebagian kulit leher jenjangnya yang putih.
Tapi tunggu dulu. Apa itu? Netraku menangkap seperti noda berwarna merah di sana.
Menyadari arah tatapan mataku, Nila cepat – cepat menutupi lehernya dengan rambut. Tanganku bergerak untuk menyibaknya lagi, tapi tertahan oleh tangan Nila.
“Apa-apaan sih kamu, Mas? Sudah, aku mau mandi dulu!” Mata Nila mendelik tajam padaku, kemudian ia segera berlalu ke luar kamar.
Debar jantungku seolah keras memukul dada. Apa yang kulihat tadi di leher istriku? Sebuah pikiran buruk pun melintas, membuat hati ini seketika menduga-duga tentang apa yang dilakukan istriku.
Kuhela napas dalam untuk melonggarkan dada yang tiba-tiba sesak. Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Bukalah tabir itu jika istriku melakukan kebohongan ya Allah ….
Aku tak pernah memberikan tanda-tanda semacam itu di tubuh istriku ketika aku meminta hak sebagai suami. Lalu siapa yang memberi tanda tersebut di leher Nila? Pikiran demi pikiran ini serasa membuatku gila.  
Setengah jam kemudian, Nila kembali masuk ke kamar. Wajahnya masih merengut masam seperti tadi.
“Nila__”
“Kalau kamu masih bawel juga, aku akan tidur di kamar Nara, Mas,” sela Nila sebelum aku mengucapkan sesuatu.
“Aku hanya penasaran dengan tanda merah di leher kamu, Nila,” jawabku.
“Tunjukkan sama Mas, kalau memang tak ada sesuatu yang harus Mas curigai.” Aku melanjutkan.
“Tanda merah apa? Kamu jangan mengada – ada deh, Mas!” tukasnya tampak kesal.
“Sini.” 
Langsung saja kutarik tangan Nila hingga tubuh kami merapat. Kusibak rambutnya yang setengah basah ke belakang dan aku pun kembali melihat tanda merah yang tadi kulihat.
“Siapa yang memberikan ini, Nila?” tanyaku sambil menatap tajam pada kedua manik mata istriku.
“Nyamuk,” jawabnya.
“Nyamuk?” ulangku.
“Mas bukan anak kecil yang nggak mengerti apa-apa, Nila!” bentakku mulai emosi.
“Lantas Mas maunya aku menjawab apa?!” bentak Nila. Suaranya melengking bahkan lebih tinggi dibanding suaraku tadi.
“Aku muak sama kamu, Mas! Sudah, kalau nggak ada lagi kepercayaan di antara kita, lebih baik kita berpisah saja. Kita cerai saja, Mas!” teriaknya lagi.
“Jangan mudah mengucap kata cerai, Nila,” kataku.
“Ya kalau begitulah Mas mencurigaiku. Aku tak suka dituduh-tuduh. Boleh Mas tuduh aku jika sudah punya bukti. Sekarang, lepaskan aku atau malam ini juga aku keluar dari rumah ini,” desisnya mengancam.
Aku terdiam oleh kata-kata Nila. Memang, aku tak punya bukti atau sesuatu yang menunjukkan Nila telah melakukan sesuatu yang telah dilaknat Allah. 
Tapi entah kenapa, hati kecil ini seolah tak bisa dibohongi. Aku mencium sesuatu yang tak beres di sini, pada istriku. Hanya saja aku memang belum bisa membuktikannya.
“Baiklah, Nila. Mas memang tak punya bukti. Tapi ingatlah satu hal, bahwa ada yang Maha Melihat. Dia mengetahui semua perbuatan hamba-Nya. Dan jika kamu memang bersalah maka bersiaplah menerima konsekwensinya,” ujarku pelan tapi dalam.
Nila hanya mendengkus. Tatap matanya tajam saat menyentak lengannya hingga peganganku terlepas.
“Nggak usah ceramah di depanku kamu, Mas!” 
***
Terdengar suara seperti orang yang sedang memasak ketika aku membuka mata. Sehabis salat subuh tadi, aku memang jatuh tertidur lagi.
Kulirik jam yang terpasang di dinding. Sudah pukul enam lewat rupanya. Menoleh ke samping, istriku masih tertidur dalam posisi membelakangiku. Suara dengkuran halusnya terdengar pelan.
Kurentangkan tangan untuk meregangkan otot tubuh. Setelahnya, aku pun turun dari tempat tidur untuk berganti pakaian kerja. 
Jam kerja di kantorku dimulai pada pukul delapan pagi, tapi aku harus berangkat sekitar empat puluh menit sebelumnya jika tak ingin terlambat tiba di sana.
Aroma masakan yang begitu menggugah selera menyambut indera penciuman ketika aku membuka pintu kamar. Jelas asalnya dari arah dapur. 
Siapa yang memasak?
“Selamat pagi, Mas,” sapa sebuah suara nan lembut saat aku mencapai dapur.
Astaghfirullah … aku baru ingat kalau sekarang di rumah ini ada Nara, adik iparku.
Gadis berperawakan sedang itu melempar senyum. 
Rambutnya yang hitam tebal diikat ke belakang, menampilkan keseluruhan wajah ovalnya yang berparas ayu. Wajah Nara ibarat duplikat Nila, hanya saja Nila memiliki warna kulit lebih cerah dibanding Nara.
“Sarapan, Mas. Maaf kalau Nara berisik dan mengganggu tidur Mas Affan,” ujarnya menghentikan lamunanku.
“Repot-repot, Ra,” ujarku sungkan.
“Mbak Nila belum bangun, Mas?” tanya Nara.
“Belum.” Aku menjawab pelan.
“Ya sudah, Mas makan dulu, gih. Semoga masakan Nara cocok selera sama lidah Mas Affan,” ujar Nara.
Aku mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Nara tersenyum, lalu menghilang ke belakang. Entah apa lagi yang dilakukan gadis itu.
Baru suapan pertama, aku sudah langsung jatuh cinta dengan masakan Nara. Terlebih, sudah pula disiapkannya secangkir kopi kental di atas meja. 
Ah, seandainya Nila bisa bersikap seperti ini. Melayaniku layaknya seorang istri kepada suami.
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Dermaga Terakhir #1

Next Post

Ide Bisnis Membuka Usaha Katering Dari Rumah Hingga Sukses

Related Posts