Dermaga Terakhir #1

bisnis
 
dwiindra0330
#BAB  1

Istri Jahanam

“Udah? Segini aja? Lain kali jangan ‘minta’ kalau kamu cuma bisa menyenangkan dirimu sendiri saja, Mas,” ujar Nila istriku dengan nada mencibir usai aktivitas kami sebagai pasangan suami istri.
Egoku sebagai laki-laki tak hanya sekedar tersentil, tapi juga terinjak-injak oleh kata-kata pedasnya barusan. 
Aku merasa terhina oleh ucapan istriku yang merendahkan ‘kemampuanku’, padahal tadi kulihat ia juga tampak menikmati aktivitas kami.
“Aku sudah berusaha, Nila. Bukannya tadi kamu juga__” Ucapanku terputus, dan dada ini terasa gemuruh hebat ketika Nila justru melengos sinis.
Diturunkannya kaki dari tempat tidur, lalu menyambar piyama yang tergantung di tempat gantungan khusus di belakang pintu. Nila keluar kamar untuk membersihkan diri, sementara aku hanya bisa duduk sambil menyesali diri.
Tiga tahun usia pernikahan kami. Dan dari sejak awal menikah, sikap Nila memang selalu ketus padaku. Mungkin karena pernikahan ini terjadi sebab perjodohan yang dilakukan kedua orangtua kami, sehingga menyebabkan Nia tidak ikhlas menjalaninya.
Pun soal urusan yang paling vital dalam hubungan suami istri, Nila selalu saja bersikap merendahkanku. Bersikap seolah aku laki-laki yang tak pernah bisa memuaskannya dalam segi apa pun.
***
“Sudah Mas transfer uang gaji Mas, ke aku?” tanya Nila saat kami sedang sarapan bersama.
“Sudah, tadi malam,” jawabku singkat sebelum menyuap sesendok nasi goreng buatanku sendiri.
“Semua?” tanyanya lagi.
“Mas ambil satu juta setengah. Satu juta buat pegangan, transport, sama jajan di kantor, lima ratus ribu lagi Mas kasih ke ibu,” terangku.
Terdengar Nila menghela napas. Aku tahu dia tak suka tiap kali mendengar aku memberi uang pada ibuku yang sudah setahun ini menjanda setelah kepergian bapak.
“Kamu nggak ngomong dulu sama aku, Mas?” Nada bicara istriku mulai tak enak.
Kali ini aku memberanikan diri menatap wajah Nila. Sorot matanya memancar tajam, seakan hendak menghabisiku dengan tatapannya itu.
“Apakah enam juta lima ratus ribu yang kuberikan padamu masih kurang, Nila?” tanyaku balik.
“Jelas kurang, Mas. Kebutuhanku banyak, dan kamu malah seenaknya memotong jatah bulananku untuk kamu berikan pada ibumu itu!” ketusnya.
“Astaghfirullahaladziim. Cuma lima ratus ribu, Nila. Itu tak ada sepuluh persennya dari yang Mas kasih ke kamu. Dan kita hanya hidup berdua di rumah ini.
Harusnya uang bulanan yang aku beri ke kamu itu cukup asalkan kamu mau menurunkan sedikit gengsi dan gaya hidup kamu,” balasku sambil menatap mata Nila yang melotot marah.
“Jelas tidak cukup, Mas. Dan satu hal kamu mesti tahu, sebentar lagi Nara akan tinggal di sini ikut kita. Bertambah lagi satu perut yang harus kamu beri makan, jadi pastikan kamu bisa memberiku uang lebih dari yang selama ini kamu berikan,” tekan Nila dengan wajah masam.
Nara adalah adik Nila paling bungsu. Anak ke tiga dari dua bersaudara, dengan Nila sebagai anak pertama.
“Ini masih pagi, Nila. Please, jangan ajak aku ribut gara-gara masalah sepele,” ujarku menurunkan nada suara.
“Masalah sepele buat kamu, tapi enggak buat aku, Mas. Makanya cari uang yang banyak kalau nggak mau diajak ribut!” 
Nila berdiri, kemudian meninggalkan meja makan begitu saja tanpa menghabiskan sarapannya yang telah susah payah kubuat. Kuhela napas panjang untuk menetralisir perasaan.
Tak selera lagi aku melanjutkan makan, tapi tak mungkin kubuang sisa makanan yang tak habis ini. Akhirnya aku mengambil kotak bekal, lalu memasukan sisa makananku dan makanan Nila ke dalamnya. Biar kujadikan bekal makanan saja ke kantor.
Pagi ini, terpaksa aku berangkat kerja dengan perasaan yang tak tentu. Semua permintaan Nila yang berlebihan kerap membuatku sakit kepala. 
Segala apa yang dia mau, harus selalu dituruti jika tidak ingin terjadi adu argumen yang selalu berujung pada pertengkaran di antara kami.
***
“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam seraya mengetuk pintu rumah selepas pulang dari bekerja.
“Waalaikumsalam ….” Suara nan lembut menyambutku, seiring pintu rumah yang terbuka.
“Nara? Kapan datang, Dik?” tanyaku saat wajah Nara adik iparku yang muncul dari balik pintu.
“Tadi siang, Mas Affan.” Nara menyalim tanganku takzim. Gadis berambut panjang dengan raut wajah mirip Nia itu kemudian menepi untuk memberiku jalan.
“Mbak Nila ke mana, Nara? Kok sepi?” 
Aku bertanya sambil mengedarkan pandang ke sekeliling ruang dan tak mendapati tanda-tanda ada orang lain selain aku dan Nara di sini. Tak enak juga rasanya berduaan hanya dengan Nara di rumah.
“Ke luar sebentar Mas, katanya. Mbak Nila tadi pesannya gitu kalau Mas Affan nanyain,” jawab Nara.
“Oh … bigitu. Ya sudah, Mas ke kamar dulu, ya.” Aku pamit pada Nara, tapi gadis itu menahanku dengan pertanyaannya.
“Mas Affan mau Nara buatkan teh hangat?”
Aku menatap Nara, melihat ketulusan pada pancaran matanya yang jernih. Kugelengkan kepala, lalu mengucapkan terima kasih dan langsung berlalu memasuki kamar tidurku.
Sayup terdengar suara azan maghrib mulai berkumandang. Usai mandi tadi, aku memang sengaja hanya berdiam diri di kamar sambil berselancar di dunia maya. 
Segera kuletakkan ponsel, kemudian bersiap untuk mengerjakan solat maghrib. Heranku, Nila masih belum juga pulang. Ke mana istriku itu pergi sebenarnya?
Ba’da isya, barulah Nila pulang. Lengkap dengan tentengan belanjaan berbungkus kantong plastik dengan logo swalayan terkenal. Aku menatapnya heran, tapi Nila hanya memasang wajah cuek.
“Habis belanja?” tanyaku.
“Kelihatannya gimana?” jawab Nila ketus.
“Astaghfirullah, Nila … kan Mas cuma tanya,” ujarku.
“Iya, habis belanja. Tuh, udah kujawab!” 
Usai berkata demikian, Nila melenggang begitu saja menuju kamar. Aku hanya bisa menatap punggung istriku yang tak lama kemudian menghilang di balik pintu kamar.
Aku menghela napas. Antara kesal dan juga marah dengan sikap Nila yang tak pernah bisa menghargaiku sebagai suami. 
Suami yang berjuang mencarikannya nafkah, mencukupi segala kebutuhannya selama ini menggantikan tanggung jawab orangtuanya. 
Deg!
Hatiku mencelos ketika tanpa sengaja tatapanku bersirobok dengan sepasang netra milik Nara yang berdiri mematung di dekat meja makan. Gadis itu menatapku dengan tatapan iba.
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

Ketika Kartu ATM Dibekukan Istri #3

Next Post

Dermaga Terakhir #2

Related Posts