Sandal Jepit Cinderella #2

bisnis

Puspa Markhip


 #BAB 2
Dalam keadaan seperti ini, Queen hanya bisa pasrah dan tiada henti merapalkan doa, berharap tidak bertemu dengan sosok Amru meski rasanya mustahil karena  kini ia berada kediaman pria itu.
Saat Queen menginjakkan ruang tamu, suasana dipenuhi kegaduhan oleh dua bocah laki-laki yang bertengkar saling memperebutkan mainan. Mereka adalah Hamim—putra sulung Mbak Rahma—dan Ni’am, anak dari Mas Abidin, adik Mbak Rahma yang sedang berusaha melerai keduanya.
Oma Sekar muncul tergopoh-gopoh mendengar jeritan kedua bocah tersebut diikuti Budhe Rosyidah. Kedua wanita itu berusaha memisahkan bocah laki-laki yang sudah mulai saling menyerang.
Begitu mereka terpisah, Mas Abidin langsung menggendong Ni’am, sementara Oma Sekar menjewer telinga Hamim dan menjauhkan keduanya dari jangkauan masing-masing.
“Kamu jangan gangguin Nia’am terus—lihat, itu siapa yang datang!” Oma Sekar memegangi Hamim yang masih belum terima dikalahkan oleh Nia’am dan menoleh ke arah mereka.
Sementara itu, Budhe Rosyidah terpaku melihat Queen berdiri diapit Mama dan Fadli, nyelip agak tersemunyi diantara tubuh Papa dan Fatih.
“Queen, itu Queen ‘kan? Masya Allah!” Wanita itu menghambur dan memeluk Queen erat. Air mata harunya turun mengalir. “Akhirnya, Nduk, kamu mau juga mengunjungi Budhemu yang sudah semakin tua ini.” Budhe Rosyidah menciumi kedua pipi Queen berkali-kali.
Queen meringis merasa bersalah. “Queen datang, Budhe.” Gadis itu balas memeluk istri dari pamannya tersebut. Mama dan Papa tersenyum saling berpandangan.
“Budhe kira tidak akan pernah bisa melihat Queen lagi sampai Budhe meninggal.”
“Jangan bilang seperti itu. Maafkan Queen baru datang sekarang, Budhe.” 
“Rasanya senang sekali bisa melihatmu, Nduk. Kamu sudah tumbuh dewasa dan cantik sekali. Ayo semuanya masuk! Paman Fikri pasti bahagia sekali melihat kedatangan keponakan-keponakannya. Beliau sedang mengajar di kelas.” Budhe Rosyidah menggiring mereka.
“Rahma, Atikah, lihat siapa yang datang!” teriaknya ketika mereka memasuki ruang keluarga.
Mbak Rahma yang tengah menggendong bayinya muncul bersama adik bungsunya, Atikah.
“Queen!” pekik mereka bersamaan.
Atikah menjadi orang pertama yang berlari dan menubruk tubuh Queen. “Masya Allah, apa kabar, Queen? Jahat sekali tidak pernah nemui teman berantem masa kecilmu ini!”
Queen tidak dapat menahan luapan rasa harunya, ternyata ia begitu dinanti di keluarga ini. Semua orang begitu mengharapkan kehadirannya. Rasanya ia begitu jahat telah menjauh dari mereka hanya karena bermasalah dengan satu orang.
“Baik, Tik. Kamu sendiri gimana, lanjut kuliah atau nyantri?” Queen melepas pelukannya dan tersenyum pada gadis yang selalu menjadi korban kenakalannya di masa kecil tersebut.
“Alhamdulillah, Win. Aku lanjut nyantri di Ploso, ini pas kebetulan lagi libur. Lusa udah harus balik ke pondok. Ngomong-ngomong, kamu makin cantik aja sih,” puji Atikah tulus.
Queen tertawa kecil, “Bisa aja kamu. Kamu juga makin cantik, padahal dulu kecil, item, dan cengeng.” 
Gadis itu tertawa geli mengingat masa kecil mereka. “Tidak perlu diperjelas kalau soal itu. Aku adalah korban kenakalanmu di masa kecil.”
Semua orang berkumpul di ruang keluarga dan melanjutkan perbincangan hangat disusul Oma Sekar dan Mas Abidin yang sudah berhasil menenangkan dua bocah laki-laki yang kini diam dengan mainan di tangan masing-masing.
“Di sini cuma Queen yang belum pernah gendong Ali. Coba deh, Win gendong sebentar,” pinta Mbak Rahma sambil menyerahkan bayinya pada Queen. Gadis itu menatap ragu.
“Boleh, Ma?” tanyanya menatap sang Mama meminta ijin. Mama mengangguk tersenyum. “Tapi Queen takut. Kalau Ali jatuh gimana?”
“Sini Mama ajarin. Letakkan tangan kirimu di bawah, antara leher dan kepala Ali—ya seperti itu. Ini untuk menyangga kepalanya, karena bayi belum bisa mengangkat kepala sendiri.” Mama meletakkan Ali di pangkuan Queen. “Tahan pahanya pakai tangan kanan—tidak, tidak, bukan begitu! Seperti ini. Nah, tuh kan bisa. Santai aja gak usah tegang gitu.” Queen menahan napas.
“Ma, Alinya gerak-gerak gak mau diem!” paniknya ketika tubuh kecil dalam pangkuannya itu bergerak gelisah dan mulai menangis.
“Tepuk-tepuk pahanya biar tenang. Jangan kenceng-kenceng, Win. Nanti tangisnya makin keras.” Semua orang tertawa mendengarnya.
“Queen sudah pantas punya anak sendiri, Bulik,” cetus Mbak Rahma.
“Itu tandanya Gus Hasan sudah harus mulai mencarikan jodoh untuk putrinya,” imbuh Oma Sekar.
Queen mengerucutkan bibirnya. “Queen belakangan, Oma. Masih ada Mas Fatih sama Mas Fadli.”
“Nah, betul itu. Fatih sama Fadli yang harusnya mangkat duluan. Rahma saja sudah punya dua orang anak, kalian masa nikah saja belum.” Budhe Rosyidah ikut menyahuti. Namun, yang ditunjuk hanya meringis cuek.
“Fatih sih santai saja, Budhe. Harusnya Fadli duluan. Secara dia ‘kan sudah mapan.”
Fadli berdecak sebal dijadikan kambing hitam oleh adiknya. “Kok jadi aku yang kena sih. Di mana-mana yang tua yang duluan.”
“Tuanya seberapa sih, orang paling selisih beberapa bulan doang,” protes Fatih tidak terima.
Budhe Rosyidah menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian itu sama saja. Sudah tiga empat,  sudah saatnya menikah. Biar adikmu lekas nyusul selesai kuliah.”
“Ya, nanti kalau mereka tidak kunjung menikah dalam setahun ke depan, terpaksa papanya yang akan mencerikan jodoh untuk keduanya,” sahut Papa kalem.
“Pa!” Fatih dan Fadli memprotes secara bersamaan. Semua orang tertawa.
“Oma setuju sama papa kalian. Kalian sudah sangat matang, mau menunggu apa lagi. Jangan seperti Amru, dijodohkan menolak, disuruh nyari sendiri juga tidak mau. Oma sama Opa kalian sampai capek nyuruh anak itu nikah. Entah maunya apa,” keluh Oma Sekar
“Pantas dari tadi telingaku berdenging, rupanya sedang digunjingkan oleh seluruh keluarga besar.”
Rasanya Queen ingin menghilang saat itu juga. Suara berat nan dalam itu terdengar seiring munculnya sosok tinggi tegap di ambang pintu ruang keluarga. Queen merasa dadanya berdegup dengan kencang.
“Nah, itu dia anaknya baru muncul.”
Dari ekor mata, Queen dapat melihat sosok itu mendekat, menyalami Papa kemudian memeluk hangat Fatih dan Fadli, berbasa-basi menanyakan kabar. Lalu ia ikut duduk bersama mereka, di seberang meja tepat saling berhadapan dengan Queen.
Queen tidak berani mengangkat kepala, gadis itu pura-pura sibuk menenangkan Ali yang tidak berhenti bergerak-gerak di pangkuannya.
Namun, beberapa saat kemudian Queen terpaksa mengangkat kepalanya saat mendengar suara Paman Fikri.
“Paman mencium bau-bau Queen di sini. Mana anaknya?” Gadis itu tersenyum tipis pada Paman Fikri. “Alhamdulillah, akhirnya Allah mengabulkan doa Paman untuk mengembalikan gadis nakal itu kemari.” Queen mengangkat kepala, menjabat dan mencium uluran tangan Paman Fikri.
Sekilas mata Queen berserobok dengan netra kelam Amru. Queen merasa jantungnya kembali berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul membasahi dahinya. Ia sama sekali tidak menyangka akan sedahsyat ini efeknya bertemu dengan pria itu.
Untung hal itu berlangsung tidak lama, karena keluarga besar itu membubarkan diri tak lama kemudian untuk membantu menyiapkan tasyakuran aqiqah. Queen berdiri dan menyerahkan kembali Ali pada Mbak Rahma sebelum wanita itu berbalik meninggalkan ruang keluarga menyisakan para pria.
Mempercepat langkah, Queen buru-buru meninggalkan ruang keluarga menyusul para wanita. Ia dapat merasakan tatapan seorang di balik punggungnya, mengikutinya hingga hilang di dapur.
Total
0
Shares
Leave a Reply
Previous Post

5 Cara meningkatkan penjualan Agar Cepat Sukses, Bisa Dicoba Guys! – Bisnis.cam

Next Post

Sandal Jepit Cinderella #3

Related Posts